KONSEP KAJIAN USHUL FIQHI DAN ILMU TAFSIR DALAM KONTEKS AL-MUJMAL WA AL-MUBAYYAN DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
KONSEP KAJIAN USHUL FIQHI DAN ILMU TAFSIR DALAM
KONTEKS AL-MUJMAL WA AL-MUBAYYAN
DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ilmu Al Qur’an pada Program Studi
Ilmu Al Qur’an dan Tafsir Jurusan Ushuluddin Adab dan Dakwah Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Majene
OLEH:
NUR RIFDAH (30156122025)
JURUSAN USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
PRODI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat, hidayah dan ilham-Nya
sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kajian Ushul Fiqih dan
Ilmu Tafsir Dalam Konteks Al-Mujmal Wa Al-Mubayyan Dalam Al-Qur’an Dan
As-Sunnah”.
Ditulisnya makalah ini kami memperoleh banyak bantuan dan referensi dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak
yang turut membantu pada penyelesaian makalah kami dan kepada Dosen pengampu
mata kuliah Ulumul Qur’an Al-Ustadz Abdul Waris Marsyam LC. M,Hum yang telah
memberikan kepada kami kepercayaan yang begitu besar dalam meyelesaikan makalah
ini.
Kami berharap makalah ini dapat memberi manfaat bagi semua pembaca dan
pendengar. kami juga meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena terbatasnya
pengetahuan dan pengalaman kami. Kami senantiasa mengharapkan kritikan dan
saran agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi.
Majene, 24 Maret 2023
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................. 2
C. Tujuan.............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................. 3
A. Pengertian Ushul
Fiqh dan Ilmu Tafsir.............................................................................................................. 3
B. Pengertian
Al-Mujmal wa Al-Mubayyan.............................................................................................................. 6
C. Qaidah-Qaidah
Al-Mujmal wa Al-Mubayyan............................................................................................................ 11
D. Perbandingan
Al-Mujmal wa Al-Mubayyan Ushul Fiqh dan Ilmu Tafsir............................................................................................................ 16
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 18
A. Kesimpulan............................................................................................................ 18
B. Saran............................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Ilmu ushul
fiqih dan ilmu tafsir banyak disajikan dari segala aspeknya untuk memahami
Al-Quran dan hadis Rasulullah Saw. Sebagaimana yang masyhur ushul fiqhi
digunakan untuk pencarian dan penetapan hukum dalam islam baik dalam masalah
ibadah, muamalah dan akhlak. Ushul Fiqhi juga adalah Ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip
dasar hukum Islam serta metode-metode yang digunakan dalam
menetapkan hukum-hukum Islam. Sedangkan dalam Ilmu Tafsir mempelajari makna dari
ayat-ayat Alquran dan As Sunnah sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan
agar menjadi hamba yang selalu bertaqarrub dengan penciptanya.
Al mujmal
adalah kaidah yang membahas keumuman dari segi lafadz ayat al quran, sedangkan
al mubayyan merupakan penjelasan dari lafadz yang umum tadi sehingga terhasil
sesuatu yang jelas. Kedua kaidah ini dibahas didalam ushul fiqhi dan ilmu
tafsir secara menyeluruh.
Dalam konsep
Ushul fiqhi dan ilmu tafsir mengenai Al mujmal dan Al mubayyan memiliki
kesamaan dan keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan dari keduanya sama-sama memiliki
kaidah-kaidah meski defenisinya berbeda sebab pemahaman oleh para ulama dan
hukama’ untuk menerangkan suatu hukum yang ada pada ayat atau hadis Nabi Saw. yang
dari segi lafadznya ada yang masih membutuhkan penjelas (mubayyan) dikarenakan
ada lafadz yang memiliki beberapa makna (mujmal) agar teranglah makna yang
diinginkan Allah Swt.
Dengan
demikian melihat pentingnya dan dari aspek kesamaan kedua ilmu tersebut yaitu
ushul fiqhi dan ilmu tafsir yang memiliki keterkaitan dan sumber yang satu,
penulis ingin memperdalam pemahaman keduanya baik dari segi defenisi, persamaan
dan perbedaan dalam kaidah yang digunakan agar jelas dan sempurna pengetahuan
penulis sendiri dan pembaca dalam pembahasan al mujmal dan al mubayyan terhadap
al-qur’an dan hadis Nabi Saw.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Ushul Fiqhi dan Ilmu Tafsir?
2. Bagaimana Pengertian Al-Mujmal Wa Al-Mubayyan ?
3. Apa Saja Qaidah-qaidah Al-Mujmal Wa Al-Mubayyan ?
4. Bagaimana Perbadingan Al-Mujmal Wa
Al-Mubayyan Ushul Fiqhi dan Ilmu Tafsir ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana pengertian Ushul Fiqhi
dan Ilmu Tafsir.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengertian Al-Mujmal
Wa Al-Mubayyan.
3. Untuk mengetahui apa Saja Qaidah-qaidah Al-Mujmal
Wa Al-Mubayyan.
4. Untuk mengetahui bagaimana Perbadingan
Al-Mujmal Wa Al-Mubayyan Ushul Fiqhi dan
Ilmu Tafsir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ushul Fiqhi
dan Ilmu Tafsir
Dalam kajian Ushul Fiqhi dan Ilmu Tafsir memilki pembahasan sangat luas
dan mendalam pada setiap cabang ilmu masing-masing yang perlu kita bahas dan pahami agar wawasan
khususnya mengenai Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam menafsirkan dan menetapkan
hukum dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah terhasil dengan sempurna.
1.
Pengertian Ushul Fiqhi
Secara terminologi pengertian ushul fiqhi
dapat terlihat dari dua sisi. Pertama, sebagai rangkaian dua kata: ushul dan
fiqhi. Kedua, sebagai satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syariat.
Dilihat dari sudut tata bahasa (arab), kata
ushul dan fiqhi tersebut diistilahkan tarkib idhafi, sehingga dua kata itu
memberi pengertian ushul bagi fiqhi. Ushul (اصول) adalah bentuk jamak dari kata ashl (اصل) yang berarti asal, dasar,
atau pokok. Dari pengertian tersebut, dapat diartikan sesuatu yang menjadi
rujukan bagi fiqhi dikarenakan merupakan dasar atau pondasi bagi fiqih.[1]
Adapun sebagai suatu nama dari suatu bidang ilmu dari ilmu-ilmu
syariat, para ulama mengungkapkan defenisi ini dalam berbagai banyak defenisi. Al Khudhry,
misalnya mendefenisikan ilmu ushul fiqhi sebagai:
القواعد التي يتوسل إستباط الاحكام الشرعية من الادلة
“kaidah-kaidah yang dengannya
dinisbahkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil tertentu.”[2]
Abdul Wahhab Khallaf memaparkan dengan:
“Ilmu
tentang kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana memperoleh hukum-hukum
syara’ mengenai perbuatann dari dalil-dalil tertentu.”[3]
Imam Ahmad bin Muhammad ad-Dimyati menjelaskan:
الأصل ما بني عليه والفقه معرفة الاحكام الشرعية التي طريقه الاجتحاد
“Ushul adalah landasan tempat membangun
sesuatu sedangkan fiqhi adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang jalannya
ijtihad.”[4]
Dari pendapat ulama yang lain, secara
detail Abu Zahrah mengatakan bahwa ilmu ushul fiqhi adalah ilmu yang dijelaskan
oleh mujtahid mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menetapkan
hukum-hukum dari nash yang disandarkan kepada nash iu sendiri.sebab hal
tersebut ushul fiqih juga disebut sebagai kumpulan kaidah atau metode yang
menjelaskan kepada ahli hokum islam tentang cara menetapkan hokum dari dalil
syara’.[5]
Dari defenisi para ulama diatas memberikan
pemahaman bahwa ushul fiqhi adalah sebuah alat yang digunakan dalam membahas
suatu hukum perkara secara sistematis dengan tetap mmemperhatikan nash yang
ada.
Adapun menurut istilah, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Muhammad al-Syaukani:
ادراك القواعد التي يتوصل بها إلى استنباط الأجكام الشرعية الفرعية عن
أدلتها التفصلية
"Mengetahui kaidah-kaidah yang dipakai untuk
mengistinbatkan hokum-hukum syariat yang praktis dari dalil-dalil yang
terperinci”.[6]
Selanjutnya, defensi lain yang dikatakan
oleh Qutub Musthofa Sanu:
هي القواعد الكلية االتي يتوصل بها المجتهد
إلى فهم نصوص الكتاب و السنة الفقه اصول
"Ushul fiqhi adalah kaidah-kaidah kulliyyah
(ilmiwan) yang digunakan oleh seorang mujtahid untuk memahami nash al–Kitab dan
al-Sunnah”.[7]
Dari dua defenisi yang dikatakan tersebut
bisa diartikan sesungguhnya ushul fiqhi merupakan sarana yang dapat digunakan
untuk memahami nash-nash al-Quran dan as-Sunnah dalam rangka menghasilkan hukum-hukum
syara’. Dengan kata lain ushul fiqih adalah teori yang bukan saja diaplikasikan
untuk memahami hukum-hukum syara’ melainkan juga berfungsi untuk penetapan hukum-hukum
syara’ yang bersifat furu’iyyah.
Sehingga jelaslah yang dimaksud ushul fiqih
meski terdapat pernyataan-pernyataan yang sedikit terjadi perbedaan bentuk gaya
kebahasaan dalam pendapat para ulama tetapi secara substansial mengandung
maksud yang sama.
2.
Pengertian Ilmu Tafsir
Kata
tafsir berasal dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan
atau uraian, al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut bahasa adalah
al-kasyf al-idzhar yang berarti menyingkap dan melahirkan.[8]
Kata tafsir memiliki banyak makna seperti al-idhah (menjelaskan), al-hayan
(menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan), al-izhar (menampakkan), dan al-ibanah
(menjelaskan), dan sebagainya yang memiliki makna yang satu.
Adapun mengenai pengertian tafsir secara
istilah, para ulama memaparkannya dengan makna yang berbeda-beda.
Pertama, menurut al-Kilabi dalam at-Tashil:
“Tafsir adalah yang menjelaskan Al-Quran,
menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau
tujuannya.”[9]
Kedua, menurut al-Jazairi dalam Shihab
at-Taujih:
“Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan
kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan
sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan
salah-satu dilalah-Nya.”[10]
Berdasarkan beberapa rumusan tafsiran yang dikatakan para ulama tersebut
diatas, dapat dipahami bahwa pada hakikatnya tafsir ialah suatu hasil usaha
tanggapan, pemikiran, dan ijtihad ulama dalam meyingkap suatu nilai samawi yang
ada dalam Al-Quran. Sedangkan maksud atau ghayah dari mempelajari tafsir ialah
agar dipahami makna-makna Al-Quran, hokum-hukumnya, hikmah-hikmahnya,
akhlak-akhlaknya,, dan petunjuk-petunjuknya yang lain agar dapat diperolehnya
kebahagiaan dunia dan akhirat.[11]
Secara sederhana dapat memberi pemahaman bahwa ilmu tafsir membahas hal-hal
yang membutuhkan makna atau penjelas terhadap sesuatu khususnya Al-Quran dan
as-Sunnah yang meliputi berbagai kejadian baik peristiwa yang telah berlalu,
sekarang atau yang akan datang.
B.
Pengertian Al-Mujmal Wa Al-Mubayyan
1.
Al-Mujmal Wa Al Mubayyan Dalam Ushul Fiqhi
a) Al-Mujmal
Dalam Ushul Fiqhi
Dalam kitab Al-Muwaraqat terdapat beberapa
defenisi:
اما المجمل فهو ما لا يعقل معناه من لفظه و يفتقر في
معرفة المراد إلى غيره
“Adapun Mujmal adalah sesuatu yang tidak
dapat dipahami maknanya dari lafadznya dan membutuhkan untuk mengetahui yang
diinginkan kepada selainnya.”
المجمل ما يفتقر الى البيان والبيان اخراج
الشيء من حيزالاشكال الى حيز التجلي
“al-Mujmal adalah sesuatu yang butuh kepada
bayan dan bayan yaitu keluarnya sesuatu
dari keadaan yang tidak jelas sampai keadaan yang jelas.”
Al mujmal secara etimologi dapat diartikan
yang umum, global atau rinci[12],
atau yang tidak tercapainya sesuatu dapat juga diartikan sebagai keseluruhan
atau sekumpulan sesuatu tanpa memperhatikan satu-persatunya.[13]
Sedangkan menurut terminologi para ahli Ushul berbeda beda dalam
memaknai Al mujmal. Pertama,
dikemukakan oleh Hanafiah:
“ Mujmal adalah lafal yang mengandung makna
secara global dimana kejelasan dan rinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian
lafal itu sendiri, melainkan melalui
penjelasan dari pembuat syariat yakni Allah SWT dan Rasulullah Saw.[14]
Kedua, dikemukakan ZakiuddinSya’ban:
“Mujmal yaitu lafadz yang tidak
bisadipahami maknanya kecuali dengan penafsiran dan penjelasan dari penyampai
atau pembuat lafadz mujmal itu sendiri.”[15]
Ketiga, Menurut jumhur ulama Ushul fiqih:
“Mujmal
adalah sesuatu perkataan maupun perbuatan yang tidak jelas petunjuknya.[16]
Dan banyak lagi para ulama yang
mendefenisikan mujmal seperti Abu Ishak Al syirazi (w.476 H) merupakan ahli Ushul fiqih dari kalangan
Syafi’i menyatakan bahwa Mujmal adalah lafal yang belum memiliki kejelasan yang
jika hanya ditinjau dari pengertiannya sehingga memerlukan penjelasan dari luar
(Al bayan) atau bila ada penafsiran dari pembuat mujmal (Syar’i). kemudian
menurut Al
bazdawi dalam kitab Ushul fiqihnya mengungkapkan definisi mujmal adalah sesuatu yang diungkapkan yang memiliki banyak makna yang dimana
makna-makna
tidak jelas (kabur).
Dari beberapa pertanyaan yang dikemukan para ahli Ushul fiqih di
atas dapat di simpulkan bahwa meskipun masing masing Ahli Ushul fiqih di atas memiliki pendapat yang berbeda dalam memberikan
redaksinya terhadap pengertian dari Al mujmal akan tetapi semuanya saling
menyempurnakan dan pada dasarnya mengarah pada makna yang sama yakni suatu
lafal ataupun ungkapan yg belum jelas maknanya dikarenakan lafal tersebut masih
bersifat umum atau global dan masih memerlukan perincian ataupun penjelasan
dari pembuat mujmal atau syara itu sendiri dan untuk mengetahui makna yang
lebih luas dari lafal tersebut maka diperlukan Al bayan (penjelasan) baik itu
dari Allah SWT. langsung atau melalui dari Rasulullah saw.
b) Al-Mubayyan Dalam Ushul Fiqhi
Al mubayyan secara etimologi dapat diartikan
sebagai sesuatu yang dijelaskan atau yang dirinci. Sedangkan menurut terminologi (Istilah).
Terdapat
dua redaksi yang sama sama dikemukakan oleh ulama Ushul fiqih mengenai pengertian
Al mubayyan. Pertama, Al-mubayyan adalah upaya penyingkapkan makna dari suatu pembicaraan(kalam) serta menjelaskan secara terperinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut
kepada orang yang dibebani hukum (mukallaf).kedua,Al-mubayyan adalah mengeluarkan suatu
ungkapan dari keraguan menjadi jelas.[17]
Maksudnya,jika ada suatu lafaz yang bersifat mujmal lalu dengan mubayyan menjadikan ungkapan tersebut
menjadi jelas.
Dalam kitab al-Muwaraqat:
أن البيان هو الدليل الذي يتوصل تصحيح النظر إلى ما هو
دليل عليه
“
Sesungguhnya bayan adalah dalil yang menyampaikan kebenaran pandangan ke
sesuatu yang menjadi dalil atasnya.”
Dari pengertian diatas dapat dipahami
bahwa Al mubayyan adalah suatu lafal, ungkapan ataupun perkataan yang telah
mendapatkan penjelasan.baik dari Allah swt,.maupun dari Sunnah Rasulullah saw.
Oleh karena
itu,apabila ada mubayyan terhadap Al-qur’an dan dikatakan sebagai sunnah
Rasulullah saw,berarti sunnah Rasulullah saw.tersebut berfungsi sebagai hal-hal
yang sulit(samar) yang ditangkap dari ayat Al-qur’an,dan juga berfungsi untuk
menjelaskan kandungan ayat-ayat itu kepada umat islam baik itu perkataan, perbuatan
maupun taqrir Rasulullah saw terhadap perbuatan para sahabat.
2.
Al-Mujmal Wa Al-Mubayyan
Dalam Ilmu Tafsir
a) Al-Mujmal
Dalam Ilmu Tafsir
Al-Mujmal maknanya secara etimologis Al-jam’ menghimpun. Ajam’usy
syay’ijmalan artinya “saya mengumpulkannya tanpa ada yang terserak”. Mujmal
menurut bahasa juga adalah al-ikhtisar yaitu ringkas (global)[18].
Sedangkan menurut istilah,Al-Bazdawiy mengatakan bahwa Al-Mujmal adalah
lafal yang memiliki banyak arti dan maksud yang ambigu. Oleh ulama salaf
dipahami, “Sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan dengan dirinya sendiri”.[19]
Dalam kitab Qawaid fii Ulumil Qur’an menyatakan:
المجمل ما لم تتضح دلالة
“Al-Mujmal adalah sesuatu yang tidak jelas dalilnya.”
Menurut pendapat lain (pengarang kitab Dustur al Ulama), Mujmal adalah
lafal yang memiliki banyak arti tanpa ada yang mengungguli satu sama lain.[20]
Muhammad Abu Zahrah mengatakan mujmal adalah lafal yang mengandung sejumlah
keadaan atau hukum yang tercakup didalamny, dan tidak dapat diketahui
ketentuannya tanpa adanya penjelasan lebih lanjut(mubayyin).Sedangkan mubayyin
adalah lafal yang sudah kelas ketentuannya.[21]
Sedangkan menurut Al-suyuti mujmal adalah lafal yang belum jelas petunjuknya
(dalalahnya).[22]
Mujmal adalah lafadz yang berkisar maknanya pada dua kemungkinan makna
atau lebih dalam tingkat yang sama, tidak satu kemungkinan. Dengan demikian, mujmal
sangat berbeda dengan dzahir, karena
yang dzahir adalah yang lebih jelas maknanya dimungkinkan makna selainnya, sedang
mujmal tingkat kemungkinan makna dari dua atau lebih makna itu seimbang. Ini
serupa dengan orang yang ragu, yakni tingkat pembenaran atau penolakannya
sama-sama 50 persen.Tidak ada kelebihan yang satu atas lainnya.
Sepakat ulama menyatakan bahwa teks yang bersifat Nash merupakan dasar
hukum yang kuat, sedang yang dzahir bila telah diteliti aneka kemungkinan
maknanya dan telah dikuatkan salah satunya, maka ia pun sudah memadai untuk
menjadikan dasar dalam penetapkan hukum.
b) Al-Mubayyan Dalam Ilmu Tafsir
Al mubayyan
secara etimologi dapat diartikan
sebagai yang menjelaskan atau yang memerinci. Sedangkan
menurut terminologi (Istilah)
أن البيان هو الدليل الذي يتوصل تصحيح النظر إلى ما هو
دليل عليه
“ Sesungguhnya
bayan adalah dalil yang menyampaikan kebenaran pandangan ke sesuatu yang
menjadi dalil atasnya.”
Sebagaimana Al-Mubayyan dalam ushul fiqhi begitu juga dalam ilmu tafsir
disebabkan sebagian para ulama ushul fiqih juga merupakan ulama tafsir sehingga
perbedaannya tidak jauh berbeda.
C.
Qaidah-qaidah Al-Mujmal Wa Al-Mubayyan
1. Qaidah-qaidah Al-Mujmal Wa Al-Mubayyan
Dalam Ushul Fiqhi
Adapun qaidah mujmal yaitu:
a) Adanya
lafadz huruf ististna (إلا)
yang didatangkan, seperti: احلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم (Dihalalkan bagimu binatang
ternak,kecuali yang akan dibacakan kepadamu). Sebagaimana ayat tersebut yang
Allah Swt. menghalalkan hewan ternak kemudian terdapat kata illa maka lafadz
ini menunjukkan makna yang umum atau mujmal sehingga membutuhkan mubayyan.
b) Adanya
lafadz yang musytarak (yang memiliki makna banyak), seperti kata quru’yang
memiliki arti suci dan haid.
c) Adanya
perbuatan Rasulullah Saw. yang memunculkan 2 kemungkinkan, seperti dalam riwayat bahwa Nabi Saw. menjamak shalat
di dalam safarnya ini dimujmalkan karena bisa saja Nabi Saw. menjamak di perjalanan yang panjang atau
pendek maka tidak boleh diarahkan ke salah satunya hingga ada penjelasan.
d) Adanya
perbedaan madzhab dalam memahami suatu kata, seperti: واحل الله البيع وحرم البا (Allah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba). Sebagaimana ayat ini yang menghalakan jual beli dan mengharamkan riba, dalam
menafsirkan kata riba yang dimana riba adalah suatu tambahan. Ada dua pendapat pertama,
bahwa ayat ini mujmal karena dalam jual beli terdapat tambahan. Kedua, bukan
mujmal dan ini yang paling shahih karena sesungguhnya jual-beli diambil dari
bahasa sehingga diarahkan ke makna umum kecuali ada pengkhususan.
e) Adanya
perbedaan pendapat para ulama bahwa nama syariat merupakan mujmal dan butuh
mubayyan atau amm dan butuh mukhassis seperti, kata shalat, puasa, zakat haji
maka sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa ini mujmal. Ada yang berpendapat tidak
termasuk mujmal karena istilah lafadznya umum.
f) Adanya
perbedaan ulama terhadap lafadz yang dikaitkan dengan halal haram, seperti حرمت عليكم الميتة (Diharamkan bagimu(memakan) bangkai). Sebagian ulama mengatakan ayat ini mujmal dikarenakan
halal dan haramnya suatu benda tidak disifatkan dengan halal dan haram akan
tetapi disifatkan dengan perbuatan kita sehingga membutuhkan penjelasan. Sebagian
ulama mengatakan ayat ini bukan mujmal dikarenakan akal langsung memutlakkan
maksud secara bahasa. Contoh ketika dikatakan diharamkan atasmu makanan ini,
maka akal langsung mengharamkan makanan ini sehingga tidak membutuhkan
penjelasan dan pendapat ini lebih shohih.
g) Adanya
perbedaan ulama terhadap lafadz yang mengandung nafi dan penetapan, seperti: انما الأعمال بالنيات dan لا نكاح الا بوليmaka adapun hadis ini sebagian ulama
berpendapat mujmal dikarenakan adanya penafian atau penetapan terhadap sesuatu
yang ada tetapi tidak disebutkan sehingga butuh kepada penjelas, berbeda dengan
ulama yang mengatakan tidak termasuk mujmal dikarenakan Allah Swt. Menetapkan
dan menafikan kepada syariat bukan kepada wali dan amal. Contoh tidak ada
perbuatan di dalam syariat kecuali dengan niat begitu juga tidak ada nikah
dalam syariat kecuali dengan wali.
h) Adanya perbedaan
ulama terhadap makna lafadz seperti: رفع عن امتي الخطأ والنسيان. Adapun ulama yang mengatakan bahwa mujmal
dikarenakan menunjukkan makna lain maka ditetapkan mujmal. Seperti diangkat
dari ummatku kesalahan dan kelupaan. akal secara langsung memutlakkan sehingga
jelas dan tidak butuh penjelasan dan ini yang lebih shohih.
i) Adanya
perbedaan ulama mengenai ayat mutasyabih, seperti: الم,
يس, طسم
Sebagaimana ayat yang mutasyabih yang maknanya
disandarkan hanya kepada Allah Swt. saja sehingga digolongkan mujmal.[23]
Adapun qaidah Al-Mubayyan yaitu:
a) Al-Mubayyan
dalam bentuk perkatan, seperti:فى خمس من الابل شاة dalam hadis ini Nabi Saw. menjelaskan bahwa
didalam lima unta zakatnya adalah satu kambing. Penjasan hadis ini termasuk
mubayyan.
b) Al-Mubayyan
dalam bentuk mafhum
Kadang-kadang mafhum itu berupa peringatan atau
larangan seperti
فلا تقل لهما أف(Maka
sekali kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah"). maka lafadz tersebut
menunjukkan makna sesungguhnya pemukulan lebih utama dari pencegahan maksudnya,
berkata “ah” kepada kedua orang tua dilarang apalagi memukul keduanya.
c) Al-Mubayyan
dalam bentuk perbuatan.
Sebagaimana hadis Nabi Saw. صلوا كما رأيتموني أصلي yang menjadi bayan tata cara sholat yang harus diikuti sebagaimana
yang diterangkan dengan perbuatan Nabi Saw.
d) Al-Mubayyan
dalam bentuk ketetapan.
Sebagaimana yang diriwayatkan bahwa Nabi Saw. melihat
sahabat shalat setelah shalat subuh kemudian nabi mendiamkannya yang dimana
solat sunnah tersebut adalah rawatib.
e) Al-Mubayyan
dalam bentuk petunjuk (isyarat)
Sebagaimana penjelasan Nabi Saw. tentang jumlah hari
di bulan ramadhan. Sewaktu nabi mengucapkan sekian pertama dan kedua dengan
mengangkat semua jari tangan dan sewaktu
mengucapkan sekian yang ketiga Nabi melipatkan satu ibu jarinya. Hal tersebut
merupakan isyarat yang menunjukkan bahwa bulan ramadhan adalah dua puluh
Sembilan.
f) Al-Mubayyan
dalam penulisan
Dahulu Rasulullah Saw. menjelaskan ukuran diyat
anggota-anggota badan dengan banyak
menulis surat-surat untuk dikirim kedaerah-daerah islam di waktu itu
dikarenakan adanya jarak yang jauh disebabkan meluasnyah wilayah islam.
g) Al-Mubayyan
dalam bentuk qiyas.
Sebagaimana dalam nash atas 4 benda tentang riba dan
diqiyaskan atas selain itu didalam makanan. Contohnya emas perak, dan kurma
gandum [24]
2. Qaidah-qaidah
Al-Mujmal Wa Al-Mubayyan Dalam Ilmu Tafsir
Adapun Al-Mujmal dalam ilmu tafsir:
a) Adanya
lafadz yang musytarak (yang memiliki makna banyak), Seperti:وَالَّليْلِ إذَا عَسْعَسَ ( demi malam apabila telah hampir
meninggalkan gelapnya ). Secara bahasa kata ini bermakna:"menghadap"
atau "berlalu". ثَلاَثَةُ قُرُوْء ( tiga kali quru' ) secara bahasa dimaknai
sebagai suci atau haid.
b) Adanya
pembuangan yang membuat suatu lafadz menjadi umum atau mujmal, seperti: أَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ وَتَرْغَبُوْنَ (dan kamu hendak menikahi mereka). Boleh jadi yang
dibuang itu adalah huruf: في
atau عن
c) Adanya
perbedaan tempat kembalinya dhamir, seperti: إلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّلِحُ يَرْفَعُهُ
(Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya). Boleh jadi dhomir fa'il pada: يرفعه itu kembali kepada sesuatu yang sama
dengan yang ada pada : إليه
yaitu Allah SWT, dan boleh jadi kembali pada amal sedangkan maknanya adalah:
"Dan alam yang baik itu adalah yang mengangkat perkataan yang baik".
Boleh jadi pula kembali pada perkataan yang baik, maksudnya bahwa perkataan
yang baik itu yaitu tauhid mengangkat amal yang baik, karena amal itu tidak sah
tanpa disertai dengan iman.
d) Adanya athaf
atau kalimat yang berdiri sendiri, seperti:وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في العلم
يقولون (padahal tidak ada yang mengetahui
ta'wilnya melainkan Allah SWT. dan orang orang yang mendalam ilmunya berkata).
e) Sedikitnya
penggunaan kata itu sekarang, seperti:يُلْقُوْنَ السَّمْعَ (mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu).
f) Membalikkan
suatu kata yang dinukil dari bahasa lain,seperti: وَطُوْرِ سِنِيْنَ (dan gunung thursina).
g) Pengulangan
yang memutus sambungkan suatu pembicaraan pada dzhahirnya, seperti:للذين استضعفوا لمن ءامن منهم (kepada orang orang yang
dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka).
h) Adanya
pendahuluan dan pengakhiran, seperti: ولولا كلمة سبقت
من ربك لكان لزاما و اجل مسمى (dan
sekiranya tidak ada suatu ketetapan dari Allah yang telah terdahulu atau tidak
ada ajal yang telah ditentukan,pasti (azab itu) menimpa mereka). diartikan jika
tidak ada yang ditetapkan dan ajal yang di tentukan maka azab itu adalah pasti.
i) Penggunaan
kata-kata asing,seperti: فَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ
(maka janganlah kamu melarang mereka).[25]
Adapun bentuk-bentuk mubayyan dalam ilmu tafsir yaitu:
a) Kadang-kadang
mubayyan itu bersambung,seperti: من الفجر (dari fajar) setelah firman
Allah swt الخيط الأبيض من الخيط الأسود(benang putih dari benang
hitam).
b) Kadang
kadang terjadi secara terpisah, ada pada ayat yang
lain, seperti: فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا
غيره (kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan
itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain). Ayat ini
setelah firman Allah swt: الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ
(thalak itu dua kali). Thalak yang dimaksud pada ayat ini adalah thalak yang
masih berhak untuk rujuk setelahnya, jika tidak maka semua thalak hanya
terbatas pada dua kali saja.
c) Kadang-kadang mubayyan itu datang dengan As-Sunnah, seperti: وأقيم الصلاة وءاتوا
الزكاة (Dirikanlah shalat,dan tunaikanlah zakat), dan ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه
سبيلا (mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah Swt. yaitu (bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah). Maka As Sunnah menjelaskan cara-cara mengerjakan zakat, ukuran-ukuran
zakat, dan cara mengerjakan haji.[26]
D. Perbadingan
Al-Mujmal Wa Al-Mubayyan Ushul Fiqhi dan
Ilmu Tafsir
Berdasarkan kajian terhadap kaidah-kaidah
usul fiqih dan ilmu tafsir khususnya mengenai Al-Mujmal dan Al-Mubayyan sudah
sangat jelas bahwa keduanya memiliki persamaan
dan perbedaan. Persamaan dan perbedaan diantara keduanya dapat dilihat
dari defenisi dan kaidah-kaidah yang diungkapkan para ulama, meskipun
penggunaan bahasa yang digunakan dalam mendefenisikan suatu maksud berbeda-beda
tetapi memiliki kesamaan makna.
Persamaan ushul fiqhi dan ilmu tafsir dalam
membahas Al-Mujmal dan Al-Mubayyan adalah menjelaskan ayat-ayat mujmal baik
dikarenakan oleh banyaknya makna yang bisa digunakan untuk menafsirkan suatu
ayat atau sebab lain sebagaimana kaidah-kaidah yang telah dibahas sehingga
perlu didatangkan penjelas berdasarkan metode yang digunakan oleh ulama ushul
fiqhi dan ilmu tafsir sehingga terhasil kejelasan suatu ayat yang mujmal.
Kemudian perbedaan ushul fiqhi dan ilmu
tafsir terhadap Al-Mujmal dan Al-Mubayyan adalah ushul fiqhi menitik fokuskan
ayat-ayat yang mujmal kemudian dijelaskan agar dapat menghasilkan suatu hukum
yang akan dipergunakan dalam menjalankan kehidupan agar tetap dalam garis agama
sesuai syariat islam. Dalam ushul fiqhi juga banyak membahas hadis baik
berfungsi sebagai penjelas atau yang dijelaskan. Sedangkan ilmu tafsir menitik
beratkan pada maksud ayat yang masih butuh dijelaskan yang kebanyakan hanya
menjelaskan ayat-ayat mujmal yang tidak berkaitan dengan hukum agar terlihat
maksud yang diinginkan Allah Swt.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ruang lingkup ushul fiqhi dan ilmu tafsir tidak bertolak belakang,
masing-masing memiliki peranan tersendiri dalam kajian Al-Mujmal dan
Al-Mubayyan yang signifikan dalam bidang masing-masing sehingga ushul fiqhi dan
ilmu tafsir memiliki perspektif masing-masing dalam penggunaan kaidah-kaidah
yang digunakan untuk mengatasi ayat-ayat yang mujmal dan memunculkan mubayyan.
B.
SARAN
Dari pemaparan
diatas diharapkan bagi para pembaca lebih memahami kajian Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dengan sempura baik dari perspektif
manapun
dan dengan sadarnya penulis dalam penulisan makalah
ini yang memiliki banyak kekurangan
dalam penyusunan dengan ini membuka kritikan dan saran yang membangun untuk
penyusunan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh,(Cet.VII;Depok:PT
Rajagrafindo Persada,2019)
Muhammad Al-Khudhary Beik, Ushul Fiqhi, (Mesir:Darul Fikri, 1969)
Khallaf dalam Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul
Fiqh,(Cet.VII;Depok:PT Rajagrafindo Persada,2019).
Ahmad bin Muhammad ad-Dimyati, Syarah Muwaraqat (Jakarta: Dar al-kutub
Al-Islamiyah 2009).
Ibid.
Qutub Mustafa Sanu,. Mu’jam Mustalahat Ushul Fiqih, (Cet. I;
Damaskus: Dar al-Fikr, 2000)
Oom Mukarromah, Ulumul Qur’an, (Cet.
I; PT Rajagrafindo Persada: 2013)
M. Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Quran Tafsir, (CET. 14; Jakarta:Bulan Bintang, 1992)
Rahmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqih,
(Cet.III;Bandung:Pustaka Setia, 2007)
Farid Naya, “Al Mujmal Al- Mubayyan dalam kajian Ushul Fiqih”, Jurnal
Tahkim 9, No. 2, (Desember 2013)
Islamiyah, “Mufassar dan mujmal dalam tafsir Al-Munir”, Jurnal
al-Thiqah 3. No. 2, (oktober 2020)
Muchlis Usman, Kaidah kaidah Istinbat}Hukum
islam ,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2002)
Abdurrahman Ibn Abu Bakar
Al-Suyuti,Al-Itqan fi Ulum al qur’an,(Beirut:Dar al-kutub al-‘Ilmiyah,2012)
Abi Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-syafi’I Al- Luma’ fii
Ushulil Fiqhi, (Al- Haromain Jaya Indonesia)
Jalaluddin As-Suyuthi Rahimahullah, Samudera Ulumul Qur’an, (Jilid 3; PT Bima Ilmu: Surabaya, 2008)
[1]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh,(Cet.VII;Depok:PT Rajagrafindo
Persada,2019, h.3.
[2]
Muhammad Al-Khudhary Beik, Ushul Fiqhi, (Mesir:Darul Fikri, 1969) h.12.
[3]
Khallaf dalam Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh,(Cet.VII;Depok:PT
Rajagrafindo Persada,2019, h.3.
[4] Ahmad bin Muhammad ad-Dimyati, Syarah Muwaraqat (Jakarta: Dar al-kutub
Al-Islamiyah 2009) h . 9.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid
[7]
Qutub Mustafa Sanu,. Mu’jam Mustalahat Ushul Fiqih, (Cet. I; Damaskus: Dar
al-Fikr, 2000), h. 70.
[8]Oom Mukarromah, Ulumul Qur’an, (Cet. I; PT
Rajagrafindo Persada: 2013),. h. 99.
[9] M. Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Quran Tafsir, (CET. 14; Jakarta:Bulan Bintang, 1992), h. 179.
[10] Ibid., h. 178
[11] Ibid., h. 180
[12] Rahmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqih,
(Cet.III;Bandung:Pustaka Setia, 2007), h. 166
[13] Farid
Naya, “Al Mujmal Al- Mubayyan dalam kajian Ushul Fiqih”, Jurnal Tahkim 9,
No. 2, (Desember 2013), h. 188.
[14] Farid Naya, “Al Mujmal Al- Mubayyan dalam kajian Ushul Fiqih”, h.
189.
[15] Farid
Naya, “Al Mujmal Al- Mubayyan dalam kajian Ushul Fiqih”, h. 188.
[16] Farid
Naya, “Al Mujmal Al- Mubayyan dalam kajian Ushul Fiqih”, h. 188.
[17] Farid
Naya, “Al Mujmal Al- Mubayyan dalam kajian Ushul Fiqih”, Jurnal Tahkim 9,
No. 2, (Desember 2013), h. 189.
[18] Islamiyah,
“Mufassar dan mujmal dalam tafsir Al-Munir”, Jurnal al-Thiqah 3. No. 2,
(oktober 2020), h. 112
[19] Islamiyah,
“Mufassar dan mujmal dalam tafsir Al-Munir”, Jurnal al-Thiqah 3. h. 112
[20] Ibid.
[21] Muchlis Usman, Kaidah kaidah Istinbat}Hukum islam
,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2002),h. 61.
[22] Abdurrahman Ibn Abu Bakar Al-Suyuti,Al-Itqan fi Ulum
al qur’an,(Beirut:Dar al-kutub al-‘Ilmiyah,2012). h. 335.
[23] Abi
Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-syafi’I Al- Luma’ fii Ushulil Fiqhi, (Al-
Haromain Jaya Indonesia), h. 26.
[24] Abi
Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-syafi’I Al- Luma’ fii Ushulil Fiqhi, (Al-
Haromain Jaya Indonesia), h. 25.
[25] Jalaluddin
As-Suyuthi Rahimahullah, Samudera Ulumul Qur’an, (Jilid 3; PT Bima Ilmu: Surabaya, 2008), h. 75
[26] Jalaluddin
As-Suyuthi Rahimahullah, Samudera Ulumul Qur’an, (Jilid 3; PT Bima Ilmu: Surabaya, 2008), h. 77
Komentar
Posting Komentar